Perempuan
itu merindukan mimpi yang pernah dialaminya lima belas tahun lebih yang lalu.
Mimpi dini hari menjelang berakhirnya Ramadhan yang menyentak hidupnya. Malam
itu dia terbangun dari tidurnya. Terkejut, ternyata sudah dini hari. Baru saja
dia bertemu dengan sosok berpakaian putih bersuara lembut yang menegurnya, “Apa
kabarmu? Bagaimana hidupmu selama ini?”
Hanya
pertanyaan sederhana saja, namun dalam artinya. Dia terkejut dan menyadari
bahwa dirinya memang tidak baik-baik saja. Tiga kali masuk rumah sakit dalam
tempo sepuluh bulan dengan puluhan botol cairan infus masuk ke tubuhnya adalah
bukan kondisi biasa-biasa saja. Di sela-sela kesibukannya menjalani profesi
pekerjaan yang ia pilih, badan dan pikiran tak bisa kerjasama. Pikiran maunya
kerja keras namun tubuhnya memiliki batas maksimal. Dalam keadaan sakit
bukannya perbanyak zikir malah membaca buku fiksi tentang sihir. Ia malu
mengingat itu.
“Bagaimana
hidupmu selama ini?” Pertanyaan itu membuatnya menangis saat itu juga ketika
terbangun. Hidupnya dirasanya sudah cukup nyaman dengan penghasilan memadai dan
pekerjaan didapatnya sesuai cita-citanya. Tapi ternyata itu tidak cukup baik
untuk ukuran ruhaninya. Hidup hanya beribadah shalat, zakat, sedekah bisa dibilang
sangat normatif. Seperti harga pas bandrol saja. Sudah berapa lama dia tak
mengikuti majelis ilmu? Bagaimana tilawahnya? Shalat malamnya? Shalat sunah
lainnya? Semakin banyak ia mempertanyakan itu kepada dirinya sendiri semakin ia
terisak menangis.
Ketika
bangun dinihari itu menjelang sahur, samar-samar ada suara lagu yang syarinya
makin membuat hatinya tertusuk, “Hanya
padamu Tuhan tempatku berteduh dari semua kepalsuan dunia…” Lagu almarhum
Chrisye itu membawanya kepada kesadaran, kehidupan dunia hanya fana.
Segera
ia bangun, berwudhu dan mendirikan shalat. Lunglai ia dalam sujud lamanya di
atas sajadah, memohon ampun kepada Allah. Begitu banyak karunia yang ia
dapatkan dari-Nya, namun sedikit sekali ia membalasnya dengan ibadah-ibadah
hariannya. Pekerjaan membuatnya sibuk.
Sejak
mendapat mimpi itu, dia tata hidupnya perlahan. Kajian mulai didatangi di
masjid sepulang kerja. Buku-buku novel sementara ia stop, ia ganti dengan
buku-buku religius demi menambal ketertinggalannya selama ini. Bahkan ia pun
minta pindah bagian pada kantornya, agar waktunya tidak banyak dihabiskan di
kantor.
Mimpi
itu mengubah hidupnya, pelan dan pasti sampai akhirnya mengantarnya ke Tanah
Suci menggenapkan rukun Islam ke-lima. Pandangannya terhadap hidupnya pun
sedikit berubah.
Kini di
akhir Ramadhan 1442 H, ia rindu teguran indah lewat mimpi seperti dahulu. Ia rindu
sosok putih bersuara lembut yang menegurnya halus. Ia rindu…
12
Ramadhan 1442H