Kecapi? Iya, buah kekuningan yang rasanya mirip-mirip manggis. Ingat kecapi, jadi ingat masa kecil. Saya menggali kenangan ke masa-masa waktu saya masih SD. Pastinya masih kecil, masih bau kencur (lho, kok? Memangnya saat itu orang-orang yang membaui saya akan mencium aroma kencur? Hahaha!) Yang pasti masih lugu, masih ikut-ikutan teman dan orang-orang sekitarnya. Kan anak kecil adalah The Great Imitator alias peniru yang hebat?
Memakan buah kecapi termasuk ikut-ikutan teman, karena di rumah enggak ada yang mengenalkan buah itu. Di depan sekolah saya ada abang-abang penjual kecapi. Teman-teman beli, dan makan. Cara membuka buahnya pun unik. Ada yang membanting seperti membanting bola tenis ke tanah (karenanya kecapi oleh anak-anak Jakarta disebut juga “apel banting”), ada yang menggencet ke pintu. Tujuannya sama, agar buahnya merekah terbuka, dan siap dimakan. Saya pun beli dengan uang saku yang ala kadarnya (saya enggak mendapat uang saku berlebih, jadi kalau sudah jajan buah kecapi enggak bisa jajan kue atau jajanan lain). Sama seperti teman-teman, buah saya banting lalu memakan dagingnya. Wah enak! Cara memakannya pun saya meniru teman. Daging kecapi yang menyelimuti bijinya saya lumat-lumat, lalu bijinya ikut ditelan. GLEK! Pertama kali mencoba itu, kerongkongan serasa sesak karena harus dilewati biji kecapi yang agak susah buat anak kecil kelas 2 atau 3 SD. Tapi justru dengan menelan bijinya itu seluruh daging buahnya jadi enggak ada yang mubazir. Semuanya masuk ke mulut dan terus jalan di saluran pencernaan.
Suatu kali dari sekolah saya membawa kecapi ke rumah. Maksudnya sih, ingin pamer kepada adik-adik di rumah. Juga pengen menunjukkan bagaimana ‘mengupas’ kecapi, ya dengan dibanting atau digencet pintu. Tapiii… ketika ketahuan ibu saya, kena marahlah saya. Kata Ibu, kecapi di kampungnya sejak beliau kecil adalah makanan ular. Dudududuuuuu…. Perkataan ibu perlu saya patuhi. Tapi kalau teman-teman saya masa itu jajan kecapi, saya beli ngumpet-ngumpet. Hehehehe...
Di kemudian hari ketika saya sudah besar dengan sendirinya tahu, bahwa itulah cara Ibu melarang saya makan kecapi, sebab saya makannya dengan menelan bijinya. Pastinya seorang Ibu khawatir anaknya tersedak buah kecapi di kerongkongannya. Kalau tersedak biji kecapi dan dibawa ke dokter kan… ya ampuuun… bakal disalahkan. Lagipula uang jajan saya yang pas-pasan menurut Ibu lebih baik dibelikan kue atau makanan lain daripada beli kecapi yang membahayakan kerongkongan.
Kembali ke foto buah kecapi di ponsel, saya pandangi lagi. Kelihatan buahnya ranum kuning terang. Di Jakarta sudah jarang saya melihatnya, atau malah susah mendapatkannya. Kalau sekarang saya makan kecapi, janji deh enggak akan menelan bijinya. Saya masih ingat dulu kalau makan kecapi meringis menahan rasa kecutnya, hehehe...
Konon, buah kecapi itu asalnya dari Semenanjung Malaya dan Indocina. Beradab-abad lalu buah ini menyebar ke India, Mauritius, Filipina, dan Indonesia. Khusus di Indonesia namanya selain kecapi adalah Buah Apo (di Kalimantan) dan Sentul. Mungkin daerah Sentul dulunya banyak tumbuh pohon kecapi.
Konon, buah kecapi itu asalnya dari Semenanjung Malaya dan Indocina. Beradab-abad lalu buah ini menyebar ke India, Mauritius, Filipina, dan Indonesia. Khusus di Indonesia namanya selain kecapi adalah Buah Apo (di Kalimantan) dan Sentul. Mungkin daerah Sentul dulunya banyak tumbuh pohon kecapi.
Eh, menurut sebuah sumber kecapi bisa sebagai obat cacing dan obat diare. Kulit, batang, dan akar dari pohon kecapi bisa digunakan untuk obat diare dan obat cacing.
Mau mencoba?
Kebon Jeruk, 22 Januari 2014
*repost 16 Desember 2020
Wow.. ini buah yang sering dimakan saat masa kecil dulu. Kalau lagi kesal sama teman, bisa langsung lempar.. heehehe
BalasHapus